Pada jaman dahulu kala di sebuah desa kecil di tepi Danau Toba hiduplah sepasang suami-isteri dengan seorang anak perempuannya yang cantik jelita bernama Seruni. Selain cantik, Seruni juga tergolong sebagai anak yang rajin karena selalu membantu kedua orang tuanya ketika mereka sedang bekerja di ladang yang hasilnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
            Suatu hari, Seruni harus beke
rja di ladang seorang diri karena kedua orang tuanya sedang ada keperluan di desa tetangga. Ia hanya ditemani oleh anjing peliharaannya yang diberi nama Si Toki. Sesampainya di ladang, Seruni hanya duduk termenung sambil memandangi indahnya alam Danau Toba. Sementara anjingnya, Si Toki, ikut duduk disamping sambil menatap wajah majikannya yang tampak seperti sedang menghadapi suatu masalah. Sesekali sang anjing menggonggong untuk mengalihkan perhatian Seruni apabila ada sesuatu yang mencurigakan di sekitar ladang.
           Sebenarnya, beberapa hari terakhir Seruni selalu tampak murung. Hal ini disebabkan karena Sang Ayah akan menjodohkannya dengan seorang pemuda yang masih tergolong sepupunya sendiri. Padahal, ia telah menjalin hubungan asmara dengan seorang pemuda di desanya dan telah berjanji pula akan membina rumah tangga. Keadaan ini membuatnya menjadi bingung, tidak tahu harus berbuat apa, dan mulai berputus asa. Di satu sisi ia tidak ingin mengecewakan kedua orang tuanya, namun di sisi lain ia juga tidak sanggup jika harus berpisah dengan pemuda pujaan hatinya.
           Setelah merenung beberapa saat dan tanpa menghasilkan apa-apa, Seruni beranjak bangkit dari tempat ia duduk. Dengan berderai air mata ia berjalan perlahan ke arah Danau Toba. Rupanya ia sudah sangat berputus asa dan ingin mengakhiri hidupnya dengan cara menceburkan diri ke Danau Toba. Sementara Si Toki yang juga mengikuti majikannya menuju tepi danau hanya bisa menggonggong karena tidak tahu apa yang sedang berkecamuk di dalam benak Seruni.
           Saat berjalan ke arah tebing di tepi Danau Toba, tiba-tiba ia terperosok ke dalam sebuah lubang batu besar hingga masuk ke dasarnya. Dan, karena berada di dasar lubang yang sangat gelap, membuat gadis cantik itu menjadi takut dan berteriak minta tolong kepada anjing kesayangannya. Namun karena Si Toki hanyalah seekor binatang, maka ia tidak dapat berbuat apa-apa kecuali terus-menerus menggonggong di sekitar mulut lubang.
           Akhirnya gadis itu pun semakin putus asa dan berkata dalam hati, “Ah, lebih baik aku mati saja.
           Setelah berkata seperti itu, entah mengapa dinding-dinding lubang tersebut mulai merapat. “Parapat…! Parapat batu!” seru Seruni agar dinding batu semakin merapat dan menghimpit tubuhnya.
           Melihat kejadian itu Si Toki langsung berlari ke rumah untuk meminta bantuan. Sesampainya di rumah Si Toki segera menghampiri orang tua Seruni yang kebetulan sudah berada di rumah. Sambil menggonggong, mencakar-cakar tanah dan mondar-mandir di sekitar majikannya, Si Toki berusaha memberitahukan bahwa Seruni dalam keadaan bahaya.

            Sadar akan apa yang sedang diisyaratkan oleh si anjing, orang tua Seruni segera beranjak menuju ladang. Keduanya berlari mengikuti Si Toki hingga sampai ke tepi lubang tempat anak gadis mereka terperosok. Ketika mendengar jeritan anaknya dari dalam lubang, Sang Ibu segera membuat obor sebagai penerang karena hari telah senja. Sementara Sang Ayah berlari kembali menuju desa untuk meminta bantuan para tetangga.
           Tak berapa lama kemudian, sebagian besar tetangga telah berkumpul di rumah ayah Seruni untuk bersama-sama menuju ke lubang tempat Seruni terperosok. Mereka ada yang membawa tangga bambu, tambang, dan obor sebagai penerangan.
           Sesampainya rombongan di ladang, sambil bercucuran air mata Ibu Seruni berkata pada suaminya, “Pak, lubangnya terlalu dalam dan tidak tembus cahaya. Saya hanya mendengar sayup-sayup suara anak kita yang berkata: parapat, parapat batu…”
           Tanpa menjawab pertanyaan isterinya, Ayah Seruni segera melonggok ke dalam lubang dan berteriak, “Seruniii…! Serunii…!”
           “Seruni…anakku! Kami akan menolongmu!” sang ibu ikut berteriak.
           Beberapa kali mereka berteriak, namun tidak mendapat jawaban dari Seruni. Hanya suara Seruni terdengar sayup-sayup yang menyuruh batu di sekelilingnya untuk merapat dan menghimpitnya.
           Warga yang hadir di tempat itu juga berusaha untuk membantu dengan mengulurkan seutas tambang hingga ke dasar lubang, namun sama sekali tidak disentuh atau dipegang oleh Seruni.
           Merasa khawatir, Sang Ayah memutuskan untuk menyusul puterinya masuk ke dalam lubang, “Bu, pegang obor ini! Saya akan turun menjemput anak kita!”
           “Jangan gegabah, Pak. Lubang ini sangat berbahaya!” cegah sang isteri.
           “Benar Pak, lubang ini sangat dalam dan gelap,” sahut salah seorang tetangganya.
           Setelah ayah Seruni mengurungkan niatnya, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dan bumi pun bergoncang dahsyat yang membuat lubang secara perlahan merapat dan tertutup dengan sendirinya. Seruni yang berada di dalam lubang akhirnya terhimpit dan tidak dapat diselamatkan.
           Beberapa saat setelah gempa berhenti, di atas lubang yang telah tertutup itu muncullah sebuah batu besar yang menyerupai tubuh seorang gadis yang seolah-olah menggantung pada dinding tebing di tepi Danau Toba. Orang-orang yang melihat kejadian itu mempercayai bahwa batu itu adalah penjelmaan dari Seruni dan kemudian menamainya sebagai “Batu Gantung”.
           Dan, karena ucapan Seruni yang terakhir didengar oleh warga hanyalah “parapat, parapat, dan parapat”, maka daerah di sekitar Batu Gantung kemudian diberi nama Parapat. Kini Parapat telah menjelma menjadi salah satu kota tujuan wisata di Provinsi Sumatera Utara.

           Pada jaman dahulu di daerah Jawa Barat ada seorang lelaki yang sangat kaya. Seluruh sawah dan ladang di desanya menjadi miliknya. Penduduk desa hanya menjadi buruh tani penggarap sawah dan lading lelaki kaya itu. Orang kaya itu oleh penduduk desa dijuluki Pak Kikir karena memang dia adalah orang yang sangat kikir. Kekikirnya Pak kikr tidak pandang bulu, sampai-sampai terhadap anak lelaki satu-satunya pun dia juga sangat pelit.<
           Untunglah sifat kikir itu tidak menular pada anak lelakinya itu. Anak Pak Kikir itu berwatak baik. Tanpa sepengetahuan ayahnya, sering dia membantu tetangganya yang kesusahan.
           Menurut anggapan dan kepercayaan masyarakat desa itu, jika menginginkan hasil panen yang baik dan melimpah maka harus diadakan pesta syukuran denga baik pula. Takut jika panen berikutnya gagal, maka Pak Kikir terpaksa mengadakan pesta syukuran dan selamatan semua warga desa diundang oleh Pak Kikir. Penduduk desa mengira akan mendapatkan makanan yang enak dan lezat dalam selamatan itu. Perkiraan itu meleset, ternyata Pak Kikir hanya menyediakan hidangan ala kadarnya, itupun tidak cukup untuk menjamu seluruh orang yang diundang. Banyakdinatara undangan yang tidak mendapat makanan. Mereka akhirnya hanya dapat mengelus dada atas sikap Pak Kikir yang lagi-lagi terbukti kikir.
           “ huh!! Sudah berani mengundang orang ternyata tidak dapat menyediakana makanan, sungguh keterlaluan, buat apa hartanya yang segudang itu”
           “Tuhan tidak akana memberikan berkah pada jartanya yang banyak itu”
           Demikianlah pergunjingan dan sumpah serapah dari orang-orang miskin mewarnai pesta selamatan yang diadakan Pak Kikir.
           Pada saat pesta selamatan sedang berlangsung, tiba-tiba datanglah seorang nenek tua renta yang meminta sedekah pda Pak Kikir.
           “Tuan... berilah saya sedekah, walau hanya dengan sesuap nasi…”rintih nenek tua itu
           “Apa sedekah? Kau kira untuk menanak nasi tidak diperlukan jerih payah hah...?
           “Berilah saya sedikit saja dari harta tuan yang berlimpah ruah itu......??”
           “Tidak! Cepat pergi dari sini, kalau tidak aku akan suruh tukung pukulku untuk meghajarmu!!”
           Nenek itu nampak mengeluarkan air mata.
           Demikianlah nenek tua itu tidak mendapat sedekah tetapi malah diusir sevcara kasar oleh Pak Kikir. Dia segera meninggalkan halaman rumah Pak Kikir.<
           Nenek itu merasa sangat bergembira ” sungguh baik engkau nak, semoga kelak hidupmu menjadi mulia”
           Setelah si anak muda itu pergi, si nenek melanjutkan perjalanannya. Sampailah dia di sebuah bukit dekat desa, dia berhenti sejenak. dilihatnya rumah milik Pak Kikir yang paling besar dan megah di desa itu. Sementara penduduk sekelilingnya menderita karena ketamakan Pak Kikir.
           Karena melihat kelakukan Pak Kikir itu, si nenek marah dan berkata ” ingat-ingatlah Pak Kikir, keserakahan dan kekikiranmu akan menenggelamkan dirimu sendiri. Tuhan akan menimpakan hukuman kepadamu”
           Nenek itu lalu menancapkan tongkatnya di tanah, lalu dicabutnya lagi. Dari lubang tancapan itu memancar air yang sangat deras. Makin lama air itu makin besar dan menuju ke desa.
           “Banjir!” “Banjirrr!!!!!” teriak orang-orang desa yang mulai panic melihat datangnya air bah dari lembah itu.
           Anak Pak Kikir segera menganjurkan orang-orang agar segera meninggalkan desa dan lari ke atas bukit.
           “Cepat tinggalkan desa ini, larilah ke atas bukit yang aman”
           “Tapi sawah dan ternak kita bagaimana?”
           “Kalian pilih harta atau jiwa? Sudah tidak ada waktu untuk membawa harta lagi”
           Anak Pak Kikir yang bijak itu terus berteriak-teriak mengingatkan penduduk desa. Ia juga membujuk ayahnya agar segera keluar rumah.<
           “Ayah cepat tinggalkan rumah ini, kita harus segera keluar menyelamatkan diri”
           “Apa? Lari begitu saja. Tolol!! Aku harus mengambil peti hartaku yang kusimpan di dalam tanan dulu”
           Karena tidak ada waktu anak Pak Kikir segera berlari menyelamatka diri, sementara Pak Kikir terus mengumpulkan harta bendanya. Dia terlambat menyelamatkna diri, akhirnya tenggelam dalam arus air bah.
           Sebagian besar penduduk desa termasuk putera Pak Kikir selamat. Mereka sedih melihat desanya tenggelam. Kemudian mereka memutuskan untuk mencari daerah baru. Mereka mengangkat anak Pak Kikir sebagai pemimpin desa mereka yang baru.
           Putera Pak Kikir lalu menganjurkan penduduk untuk mengolah tanah yang telah dibagi rata. Pimpinan desa baru itu mengajari penduduk menanam padi dan bagaimana mengairi sawah secara baik. Desa itu kemudian disebut desa Anjuran, penduduk desa selalu mematuhi anjuran pimpinannya.
           Lama kelamaan desa itu berkembang menjadi kota kecil disebut Cianjur. Ci berarti air. Cianjur berarti daerah yang cukup mengandung air. Anjuran pemimpin desa dijadikan pedoman para petani dalam mengolah sawah, maka sampai sekarang ini beras Cianjur dikenal sangat enak dan gurih.

            Suatu hari anjing dan ayam sedang berjalan-jalan di pekarangan. Ayam tampak gembira. Ia mengepakkan sayapnya dan berkokok keras, tapi anjing menggantungkan ekornya dan tampak memendam kesedihan melihat keceriaan sang ayam. Anjing berkata, “Aku tak habis mengerti mengapa kamu dapat begitu gembira?”
            “Mengapa tidak?”, jawab ayam. “Tidakkah kau lihat tuan kita sedang dirundung masalah akhir-akhir ini dan aku pikir kita harus bertukar pikran untuk memecahkannya”, kata anjing.
            “Apa masalahnya?” tanya ayam.
            “Tentang istrinya. Kelakuannya begitu buruk, dia tidak pernah mengeluarkan perkataan baik, dia tidak puas dengan semua yang tuan kita lakukan, istri seperti itu bisa menyebabkan kematian seorang laki-laki!”, kata anjing.
            “Kelakuan seperti wanita itu tidak akan menyebabkan aku mati. Kau tahu aku mempunyai tujuh belas istri dan jika aku menghadapi masalah-masalah dengan istri-istriku, maka aku akan mengarahkan mereka dengan cara yang berbeda-beda. Mereka akan menerima beberapa pukulan jika keras kepala, tidak mau mendengarkanku, dan jika mereka bertengkar dan saling menarik rambut, aku akan melerai meeka. Begitulah caraku memperlakukan ketujuh belas istriku dengan baik dan jika tuan kita tidak dapat mengatur seorang wanita, dia jelas bukan laki-laki yang baik!”, kata ayam. Setelah berkata begitu, sang ayam pergi dengan bangganya.
            Tanpa mereka berdua ketahhui, tuannya ternyata mendengar percakapan anjing dan ayam itu. Kemudian laki-laki itu menemui istrinya, yang lagi-lagi mengeluarkan kata-kata yang tidak sopan.
            Teringat apa yang dilakukan sang ayam, kemudian dia menjawab perkataan buruk istrinya itu dengan beberapa pukulan di tubuhnya sekedar memberinya pelajaran. Sejak itu,  istrinya menjadi patuh dan selalu menjaga perkataannya. Itu semua berkat pelajaran yang diberikan oleh sang ayam.


“Seorang lelaki yang hebat adalah yang dapat membimbing wanitanya untuk senantiasa berperilaku baik”

Pada suatu sore di musim dingin, seperti biasa anak-anak berkumpul mengelilingi api unggun. Watiri datang sambil sambil membimbing lengan Mama Semamingi. Ketika Mama Semamingi telah duduk di bangku, anak-anak beringsut dari tempat duduk masing-masing semakin mendekat ke arah api unggun, sementara Kamalo mulai menyalakan api.
            “Anak-anak, dapatkah cerita untuk malam ini kita mulai dan cerita tentang apa?”, tanya Mama Semamingi.
            “Tentang apa saja yang Mama suka!”, sahut Wakai. Yang lain ternyata setuju juga.
            Mama Semamingi berdiri dan memandang sekeliling tempat itu. Tiba-tiba pandangannya tertuju pada sebatang pohon Baabab yang tumbuh subur, tingggi menantang langit. Mama Semamingi tersenyum, “Aku sangat kasihan pada pohon itu. Tapi aku cukup mengerti apa sebabnya ia tumbuh demikian itu!”
            “Mama mengerti?”, hampir bersamaan anak-anak bertanya.
“Ya, memang ada cerita tentang Mbuyu si Baabab itu.”
Pada mulanya ketika dunia ini baru saja tercipta, ketika segala jenis bebatuan masih bersifat lunak segera pula diciptakan segala kehidupan binatang dan tumbuhan. Sebagian binatang memiliki kaki dan sebagian memiliki sayap sehingga mereka dengan bebas dapat berpindah-pindah ke tempat lain. Adapun yang mendapat tugas untuk memelihara binatang dan tumbuhan ini adalah Dewa Mungu. Tetapi keadaan kehidupan tumbuhan sangat berbeda dengan kehidupan binatang. Mereka tertancap dengan akar-akar yang mencengkeram tanah, sehingga mereka tak dapat  berpindah-pindah dari tempatnya. Oleh karena itu pada mulanya mereka diberi kebebasan untuk memilih tempat yang mereka sukai. Sebatang pohon besar yang paling awal diciptakan ialah Mbuyu, pohon Baabab yang memiliki bentuk batang yang indah dengan banyak cabang yang halus dan indah dengan banyak pula daun-daun yang berwarna-warni bersinar.
“Kau memilih tempat dimana, Mbuyu?” tanya Dewa Mungu.
“Tempatkan saja aku di tanah yang lembut dan hangat”, jawab Mbuyu.
“Aku tak ingin iklim yang dingin yang dapat merusak daun-daunku yang indah.”
“Baiklah!” Kemudian Dewa Mungu membawa Mbuyu yang indah ke sebuah lembah yang tanahnya lembab dan hangat serta menanamkan akar-akar Mbuyu dengan tepat dan kuat. Setelah hujan turun Mbuyu pun tumbuh. Daunnya semakin menyubur dan rimbun.
Tetapi tiba saatnya hujan tak turun sama sekali, setiap hari cuaca sangat panas dan gersang. Daun-daun Mbuyu yang indah berguguran. Ia memandang langit dan menangis dan serta menjerit, “Mungu dengarlah jeritanku! Tubuhku kepanasan, aku tak ingin hidup di tanah karena angin dingin tak mau bersahabat untukku. Oh.. Mungu kalau begini terus menerus aku bia mati!”
“Aku harus berbuat apa?”, kiranya Dewa Mungu pun mendengar.
“Pindahkan saja aku ke tempat yang lebih tinggi, sehingga angin dingin pasti bertiup kencang!”
Terpaksa hati Mungu jatuh iba juga. Kemudian ia memanggil angin besar untuk mencabut Mbuyu serta membawanya ke tempat yang agak tinggi dan menanamnya di sana. Tetapi di tempat ini pun akhirnya tubuh Mbuyu kedinginan dan gemetaran didera angin dingin. Nah, sekali lagi Mbuyu mengadu kepada Dewa Mungu.
“Oh, Dewa Mungu dengarlah lagi jeritan nasibku! Aku tak dapat hidup di tempat di mana sinar matahari hanya sedikit sekali serta angin kencang yang membuat daun-daunku berjatuhan satu per satu. Oh, aku bisa mati Dewa Mungu!”
Sekali lagi Dewa Mungu merasa kasihan kepada Mbuyu.
“Apa yang dapat kulakukan untukmu, Mbuyu?”
“Dewaku yang agung, pindakan saja aku ke tempat yang dulu. Aku kira tempat yang pantas dan panas lebih nyaman daripada di tempat yang dingin. Ah, aku bisa mati di sini Dewaku!”
“Baiklah...” Hati Dewa Mungu pun runtuh juga. Kemudian diperintahkan angin besar untuk memindahkan Mbuyu ke tempat asalnya tetapi dengan menanamnya terbalik, akarnya berada di atas.
“Apa yang kau lakukan terhadapku, Dewa Mungu?” teriak Mbuyu tatkala dirasakan daun-daunnya tertimbun tanah.
“Sengaja aku menanammu terbalik dengan mulutmu tertimbun tanah karena aku tak mau lagi dengar tuntutanmu! Yah, kaulah pohon yang paling cerewet di dunia ini!”
Sejak saat itu Mbuyu, si Baabab tumbuh terbalik. Begitulah hukuman bagi yang tak pernah merasakan puas.



          Kota Siena yang indah itu seringkali dinamakan orang Kota Impian. Oleh sebab itu di kota itulah orang menemukan bangunan-bangunan yang cantik. Istana yang megah serta tulisan-tulisan yang menakjubkan. Kota yang terletak di daerah Tuscany, pada jantung Negeri Italia yang menjulur ke laut seperti sepatu seorang prajurit. Pada jaman dahulu merupakan sebuah kota dimana seorang pelukis amatlah dihormati orang dan diperlakukan seperti seorang pangeran layaknya. Tiada heran kalau seorang anak yang mulai tumbuh nampak mempunyai bakat seorang pelukis, serta merta anak itu pun diserahkan kepada seorang seniman yang ada, dengan harapan bahwa anak itu kelak akan menjadi seorang pemahat keindahan yang termashur.
            Maka ada seorang anak petani melarat yang hidup di pinggiran kota, bernama Domenico. Ia seorang anak yang semenjak bisa memegang sebatang arang dengan jari-jarinya menunjukkan gairah seorang calon pelukis yang tumbuh kuat dalam dirinya. Ia segera belajar melukis apa saja yang bisa terlihat olehnya. Tempayan yang terdapat di dapur ibunya, binatang-binatang, pohon-pohon dengan kemiripan yang mengagumkan. Domenico memang terhitung anak yang bernasib mujur. Seorang bangsawan yang bernama Lorenzo Beccafumi tertarik pada bakat yang dimiliki anak ini dan atas persetujuan orang tuanya, ia membawa anak itu ke kota untuk diserahkan kepada seorang pelukis yang dikenalnya.
            Pada hari pertama kehidupannya di Kota Siena yang mashur itu Domenico sempat menikmati kegembiraan yang bukan kepalang. Ia bisa melukis lebih banyak lagi. Tapi bukan itu saja, ia juga memperoleh kawan-kawan baru, dengan siapa ia sering mengisi waktu-waktu yang tersisa untuk menulusuri jalan-jalan sempit. Bersembunyi pada pojok-pojok jalan yang sepi atau mengisi dengan teriakan-teriakan yang riuh.
            Namun saat yang begitu indah, hanya sejenak bisa dinikmati oleh Domenico yang sering dijuluki Mecherino oleh kawan-kawannya, yang berarti Domenico kecil. Ayah angkatnya, yaitu bangsawan Lorenzo Beccafumi menyerahkan Domenico kepada seorang pelukis terkenal. Selain belajar melukis, maka Domenico harus membersihkan lantai, pergi berbelanja, membersihkan piring, dan sendok serta pekerjaan lainnya.
            Pelukis yang menjadi gurunya adalah seorang pelukis tersohor yang amat keras dalam sikap mendidik muridnya. Tentu saja Domenico kehilangan sama sekali waktu untuk bersenang-senang bersama kawan-kawannya. Hal semacam ini tentu saja menjengkelkan hatinya. Maka tak ayal lagi Domenico sering bertanya kepada gurunya, “Kenapa saya tidak boleh bermain dengan kawan-kawan saya?”
            “Kalau kau mau menjadi pelukis ternama, maka pertama tama kau  harus melupakan permainan anak-anak itu!”, ujar gurunya.
            Tapi Domenico masih seorang anak-anak yang menyukai permainan seperti juga ia mencintai lukisan. Maka ia tak habis pikir, kanapa seorang anak tak boleh bermain-main?
            Pada suatu hari Domenico disuruh gurunya pergi membeli ikan di pasar. Ia segera mengambil sebuah keranjang dan dengan lincah berlari menuju pasar. Di tengah-tengah keramaian itulah nampak berbagai warna-warni pakaian yang indah-indah, seperti menampakkan pelangi yang bertebaran. Sangat indah sekali di mata seniman kecil seperti Domenico.
            Segera Domenico mendekati tempat penjualan ikan dan setelah menimbang-nimbang sejenak, ia pun duduk berjongkok di depan penjual ikan dan mulai melakukan tawar menawar. Malang bagi Domenico, sebab seorang anak berandal kawannya yang sering dikalahkan oleh Domenico dalam beberapa pertandingan, kali ini bermaksud melakukan pembalasan. Diam-diam anak itu merangkak mendekati Domenico, lalu melubangi bagian alas dari keranjang ikan yang ditaruh oleh Domenico di sampingnya.
            Dan bisa kita bayangkan apa yang terjadi selanjutnya. Selagi Mecherino asyik melayangkan pandangannya pada suatu benda-benda tentu saja memukaukan penglihatannya, ikan-ikan yang dibelinya tadi berjatuhan satu per satu di jalan. Dan selanjutnya, amarah yang meluap-luap dari gunrunya, caci maki serta sumpah serapah yang tidak berketentuan lagi.
            “Kau! Setan tolol! Cuma ingat bermain-main saja! Ingat baik-baik ucapan saya, kau tidak akan pernah menjadi seorang pelukis!” Domenico cuma bisa berdiam diri.
            Dan sejak itu, nasibnya menjadi semakin buruk. Ia sudah harus sibuk sejak matahari muncul di langit sampai ketika bintang-bintang pun menghilang.
            Lalu datang pula satu ketika, di mana Domenico disuruh lagi oleh gurunya untuk pergi membeli ikan. Sebab sang guru ternyata menyukai ikan lebih dari segala macam makanan di atas dunia ini. Kali ini, tentu saja Domenico amatlah berhati-hati dan tidak mau ceroboh. Dan ketika ia tiba, ia segera menyimpan ikan-ikan itu di dapur.
            Lalu memasuki ruang belajarnya, di mana ia harus berlatih melukis setiap hari. Dan di saat itulah ketika gurunya kebetulan sedang keluar, ia menemukan sebuah pikiran yang membuat ia tersenyum sendiri.
            Untuk bisa melunakkan hati gurunya, maka pertama-tama ia harus bisa membuat gurunya senang. Dan untuk itu, maka jalan yang terbaik adalah dengan sebuah lelucon. Ia akan menunjukkan pada gurunya bahwa ia mampu bermain-main dan bekerja dengan sebuah lelucon! Domenico yakin bahwa rencananya akan berhasil.
            Maka dengan tidak membuang waktu lagi, Domenico segera membawa alat-alat gambarnya serta cat minyak berwarna persis seperti ikan yang dibelinya tadi, menuju pintu depan. Lalu ia melukis ikan-ikan bertebaran di atas tangga, sebegiu indahnya sampai ikan-ikan itu bisa membuat kau bersumpah tujuh kalu bahwa itulah ikan yang hidup. Masih segar seakan-akan baru keluar dari dalam air.
            Sehabis itu, tentu saja Domenico segera mencari tempat yang  baik untuk menunggu. Dan seperti yang diharapkan, tak lama kemudian sang guru pulang.
            “Hai! Kenapa kau duduk di situ, pemalas! Kau membuang waktu yang indah percuma saja. Cepat bekerja! Atau ...” sang guru mulai dengan omelannya yang biasa, “Kau sudah menghilangkan lagi ikan-ikanku?”
            “Saya sudah membawa seluruhnya dengan selamat tuan”, sahut Domenico.
            “Masuklah dan tuan akan menyaksikannya.”
            Sang guru segera masuk. Dan ketika ia baru menginjakkan kakinya pada anak tangga yang pertama, saat itulah matanya menangkap ikan-ikan yang bergelimangan di tangga.
            “Kurang ajar! Anak tak ada guna! Kenapa kau biarkan ikan-ikan itu bertebaran di tangga? Demi segala malaikat! Ayo cepat pungut ikan-ikan ini!”
            “Wah, maaf Tuan. Saya tidak bisa memungutnya!”
           “Apa? Kau akan kena hajar sampai kau tidak lupa seumur hidupmu!” Dengan sangat marah sang guru segera berteriak, lalu menunduk dan hendak memungut sendiri ikan-ikan itu dan menyaksikan bahwa ikan-ikan itu cuma sekedar lukisan!
            Ia berdiri dengan mulut menganga dan mata membelalak lantaran heran.
            “Siapa yang melukis ikan-ikan sebagus ini?”
            “Saya Tuan”, sahut Domenico bangga.
            “Kau?” setengah percaya pelukis yang menjadi gurunya itu bertanya.
            “Ya, tuan. Saya ingin menunjukkan bahwa dengan sedikit main-main saya juga mampu melukis yang baik dan bekerja dengan baik juga”, kata Domenico.
            Sejak saat itu sang guru mulai sangat lunak memperlakukan Mecherino atau Domenico cilik. Dan anak itu mulai punya waktu untuk bermain.

            Nah! Bilamana kau pergi ke Kota Impian Siena, maka kau akan jumpai hasil karya pelukis besar Domenico di Pace Beccafumi, seorang  pelukis  tersohor dari jamannya yang banyak membuat lukisan-lukisan yang indah dan menakjubkan.

SEPATU MERAH (Cerita Rakyat dari India)

Posted on 17.28
        Pada jaman dahulu kala, hiduplah seorang lelaki di Kota New Delhi. Ia hidup seorang diri, pembantunya tak ada. Untuk mencari nafkahnya ia bekerja sebagai tukang sepatu. Sepatu buatannya sangat kuat dan indah.
Persediaan berasnya hampir habis, karena belakangan ini pelanggannya tidak pernah membeli sepatu buatannya. Tukang sepatu itu merasa sedih. Ia tak mempunyai uang lagi untuk membeli beras dan kulit yang baru. Ia jatuh sakit karena kurang makan.
Tukang sepatu mempunyai sehelai kulit yang indah sekali, yang ia beli beberapa tahun yang lalu. Karena indahnya kulit itu tidak ia jadikan sepatu. Tapi sekarang ia berpikir lain. Karena merasa putus asa, ia bermaksud membuat sepatu yang indah dengan kulit itu.
Bibirnya bergumam sendiri, “Aku akan membuat sepatu yang istimewa. Barangkali saja ada orang yang mau membeli dengan harga yang cukup mahal. Aku akan dapat membeli makanan dan bahan kulit lain.”
Dengan tekun dan hati-hati ia mulai bekerja. Lama-lama selesailah sepatu itu. Bagus sekali. Ia selanjutnya letakkan sepatu itu dalam etalase tokonya. Dengan sabar ia menunggu datangnya pembeli. Tetapi tak seorang pun mau membeli sepatu itu. Orang-orang merasa terlalu mahal.
Tukang sepatu itu merasa bingung. Suatu malam penuh duka, ia duduk sendiri di kursi rumahnya. Ia tak punya uang lagi untuk membeli makanan dan kopi. Ia mengeluh, “Ah, darimana aku dapat makan besok? Ya, Tuhan begitu besar cobaan-Mu kepadaku yang hina ini...”
Di luar hujan turun dengan derasnya. Angin dingin menghembus. Tiba-tiba pintu rumahnya diketuk orang. Ia berdiri membukanya. Yah, seorang pengemis miskin berdiri di muka pintu. Pengemis itu berkata perlahan, “Berilah aku sedikit uang. Aku kedinginan dan lemas sekali. Sehari ini aku belum makan...”
“Aku tak ada uang dan makanan, tapi masuklah dan keringkan bajumu dekat perapian. Malam ini kau dapat tidur di sini”, ujar tukang sepatu itu dengan ibanya.
Masuklah pengemis itu ke dalam dan duduk dekat api. Ia tak bersepatu. Telapak kakinya koyak-koyak dan belah-belah karena gigitan batu-batu tajam.
“Mengapa kau tak punya uang, Pak Tua?” tanya pengemis. Tukang sepatu itu menjawab, “Aku sudah tua sekali. Langganan-langganaku tak mau membeli sepatu lagi. Sepatu-sepatuku tahan lama...”
Pengemis itu mengambil sepasang sepatu istimewa dan berkata, “Sepatu ini bagus sekali, mengapa tak kau jual?”
“Tak seorang pun membelinya. Mereka merasa terlalu mahal.” Jawab tukang sepatu itu dengan wajah penuh kesedihan.
“Aku ingin sepatu seperti ini, kakiku pecah-pecah dan berdarah. Tetapi ah... aku tak ada uang sama sekali”, ujar pengemis.
“Ambillah sepatu itu, tak seorang pun mau membelinya. Ambilllah jika kau menyukainya”.
Sambil berkata begitu tukang sepatu itu pergi meninggalkan pengemis sendiri dan pergi tidur. Pagi-pagi sekali ia bangun. Pengemis itu sudah pergi, sepatu merah dibawanya juga.
Tukang sepatu itu memasak air untuk minum. Tak ada makanan sama sekali. Duduklah ia tenang-tenang menunggu apa yang mungkin terjadi pada dirinya.
Kira-kira jam satu siang pintu rumahnya diketuk orang. Ia buka pintu sambil ia terheran-heran. Di depan pintu berdiri seorang Menteri Kerajaan dengan pakaian kebesarannya. Di belakangnya berdiri seorang pelayan membawa makanan yang lezat-lezat. Menteri itu berkata dengan senyumnya tersungging di bibirnya.
“Saya membawa makanan untuk Anda!”
“Makanan ini untuk saya?” kata tukang sepatu itu dengan rasa keheranan. “Mungkin ini suatu kekeliruan?”
“Bukan kekeliruan, makanlah dahulu nanti saya ceritakan”, kata Perdana Menteri Kerajaan itu. Maka tukang sepatu itu pun makan dengan lahapnya. Selesai makan Perdana Menteri itu berkata, “Tadi malam Anda telah memberi Baginda sepatu merah dan kini beliau akan membayarnya kembali.”
“Tetapi, saya berikan sepatu merah itu kepada seorang pengemis. Siapa Tuan Anda?”, tanya tukang sepatu itu dengan penuh keheranan.
“Tuanku adalah Maharaja KerajaanWirata. Desa ini masuk wilayahnya. Untuk lebih mengenal kehidupan rakyatnya dari dekat, beliau menyamar sebagai seorang pengemis. Anda tentu mengira beliau seorang pengemis sungguhan. Anda berikan kepada beliau satu-satunya kekayaan Anda. Mulai hari ini Anda diminta tinggal di Istana Wirata. Nah, cukup penjelasan saya mari kita berangkat sekarang!”
Kini tukang sepatu itu hidup berbahagia di Istana raja. Tetapi ia tidak sombong dan congkak.


“Hati yang tulus dan ikhlas akan membuahkan kebahagiaan”



           Ribuan tahun yang lalu, di negeri Vietnam hidup saudara kembar Tan dan Lang. Keduanya sangat tampan, jujur, dan suka menolong orang. Keduanya saling menyayangi dan amat rukun hidupnya. Di mana ada Tan, pasti di situ ada Lang. Mereka kiranya tak mau berpisah.
          Orang tuanya mendidik Tan dan Lang dengan baik dan penuh kesabaran. Tan dan Lang tumbuh menjadi pemuda yang berbudi luhur dan dermawan.
            Pada usia 21 tahun, Tan dan Lang meninggalkan desanya untuk berguru kepada Pendeta Ho yang terkenal pandai dan saleh itu. Pendeta Ho menerima Tan dan Lang dengan ramah dan gembira.
           Tan dan Lang kiranya cepat pandai, ilmu yang dipelajarinya cepat pula dikuasai. Namun, ia tak segera kembali ke desanya. Dan selidik demi selidik kiranya kedua pemuda itu jatuh cinta pada putri Pendeta Ho yang cantik jelita itu. Gadis itu bernama Mei, ia gadis lembut dan berbudi luhur.
Mei terpaksa minta bantuan kepada ayahnya. Pendeta Ho terpaksa memilih Tan sebagai calon suami Mei. Meskipun pilihan jatuh kepada Tan, Lang tidak iri hati kepada saudara kembarnya.
Sementara Lang merasa kesepian juga, sebab Tan selalu bersama Mei. Lang jadi sedih hatinya. Untuk menghilangkan kesedihan hatinya itu ia ingin berkeliling dunia. Dengan membawa rasa sayang terhadap saudaranya Lang ia memulai pengembaraannya.
Hutan belukar ia masuki, gunung dan ngarai ia telusuri. Berbulan-bulan sudah Lang mengembara untuk menggembirakan hatinya. Suatu hari, Lang tiba di sebuah hutan belantara. Pohon-pohonnya amat rapat dan sinar matahari tak dapat menembus. Lang serasa terperengkap di situ. Tak bisa keluar dari hutan. Akhirnya Lang meninggal dalam perjalanan.
Tapi anehnya, setelah meninggal tubuh Lang berubah menjadi gunung putih berkilauan. Suatu pertanda kesucian kasih sayang Lang kepada saudara kembarnya Tan dan isterinya Mei terlalu dalam.
Sementara itu, Tan bermimpi bahwa Lang telah meninggal. Yah, firasat menjadi sebuah kenyataan. Tan kiranya ingin berziarah ke makam Lang adiknya.
Tiba-tiba saja Tan terbangun dari mimpi buruknya, lalu meninggalkan isterinya yang masih tertidur pulas itu. Tan berjalan menerobos kegelapan malam yang sepi itu, niatnya hanya satu mencari kuburan Lang adiknya di tengah hutan sesuai petunjuk mimpinya.
Setelah tiba di tengah hutan Tan sangat lelah sekali. Sudah beberapa hari ia tak makan dan minum. Oleh karena itu, tak terasa ia pun jatuh tertidur. Anehnya Tan tak dapat bangun lagi, dia meninggal sewaktu tertidur pulas. Tubuh Tan tak terduga tertimbun tanah yang sedikit demi sedikit longsor dari Gunung Putih. Kemudian keajaiban terlihat lagi manakala kuburan Tan itu berubah menjadi pohon pinang.
Di rumah, isteri Tan sangat sedih atas kepergian Tan suaminya yang tak tentu arah itu. Mei lalu pergi meninggalkan rumahnya dan berjalan tak tentu arah. Mei tak kembali jika tak bertemu suaminya. Tan adalah dambaan siang dan malam.
Beberapa hari kemudian Mei tiba di kaki Gunung Putih. Mei ingin mendaki Gunung Putih agar dapat melihat perjalanan Tan suaminya dari ketinggian gunung.
Sayang, ketika ia melangkahkan kakinya di dekat pohon pisang, kakinya pun terpelosok. Mei jatuh dan meninggal seketika. Aneh, tubuhnya kemudian beruabah menjadi pohon sirih.
Tak lama kemudian kira-kira 5 bulan Raja Hung Voung yang memerintah negeri Vietnam, berburu ke hutan Gunung Putih. Ketika melihat pohon pinang dan pohon sirih tumbuh di atas bukit kapur putih, Raja termenung sejenak. Tiba-tiba hatinya tergerak memetik beberapa helai daun sirih, lalu memetik buah pinang dan mengambil kapur sedikit. Ketiganya lalu diramu dan disantap seketika.
Demikianlah, Raja Hun Voung mulai menciptakan kebiasaan makan sirih, untuk memperingati cinta kasih yang abadi antara Tan, Lang, dan Mei. Kebiasaan itu menyebar ke seluruh Asia Tenggara termasuk di Negara Indonesia juga.



“Budi luhur seseorang akan selalu diingat, walau raganya tak ada lagi di dunia ini”

pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.