Pada suatu sore di musim dingin, seperti biasa anak-anak berkumpul mengelilingi api unggun. Watiri datang sambil sambil membimbing lengan Mama Semamingi. Ketika Mama Semamingi telah duduk di bangku, anak-anak beringsut dari tempat duduk masing-masing semakin mendekat ke arah api unggun, sementara Kamalo mulai menyalakan api.
            “Anak-anak, dapatkah cerita untuk malam ini kita mulai dan cerita tentang apa?”, tanya Mama Semamingi.
            “Tentang apa saja yang Mama suka!”, sahut Wakai. Yang lain ternyata setuju juga.
            Mama Semamingi berdiri dan memandang sekeliling tempat itu. Tiba-tiba pandangannya tertuju pada sebatang pohon Baabab yang tumbuh subur, tingggi menantang langit. Mama Semamingi tersenyum, “Aku sangat kasihan pada pohon itu. Tapi aku cukup mengerti apa sebabnya ia tumbuh demikian itu!”
            “Mama mengerti?”, hampir bersamaan anak-anak bertanya.
“Ya, memang ada cerita tentang Mbuyu si Baabab itu.”
Pada mulanya ketika dunia ini baru saja tercipta, ketika segala jenis bebatuan masih bersifat lunak segera pula diciptakan segala kehidupan binatang dan tumbuhan. Sebagian binatang memiliki kaki dan sebagian memiliki sayap sehingga mereka dengan bebas dapat berpindah-pindah ke tempat lain. Adapun yang mendapat tugas untuk memelihara binatang dan tumbuhan ini adalah Dewa Mungu. Tetapi keadaan kehidupan tumbuhan sangat berbeda dengan kehidupan binatang. Mereka tertancap dengan akar-akar yang mencengkeram tanah, sehingga mereka tak dapat  berpindah-pindah dari tempatnya. Oleh karena itu pada mulanya mereka diberi kebebasan untuk memilih tempat yang mereka sukai. Sebatang pohon besar yang paling awal diciptakan ialah Mbuyu, pohon Baabab yang memiliki bentuk batang yang indah dengan banyak cabang yang halus dan indah dengan banyak pula daun-daun yang berwarna-warni bersinar.
“Kau memilih tempat dimana, Mbuyu?” tanya Dewa Mungu.
“Tempatkan saja aku di tanah yang lembut dan hangat”, jawab Mbuyu.
“Aku tak ingin iklim yang dingin yang dapat merusak daun-daunku yang indah.”
“Baiklah!” Kemudian Dewa Mungu membawa Mbuyu yang indah ke sebuah lembah yang tanahnya lembab dan hangat serta menanamkan akar-akar Mbuyu dengan tepat dan kuat. Setelah hujan turun Mbuyu pun tumbuh. Daunnya semakin menyubur dan rimbun.
Tetapi tiba saatnya hujan tak turun sama sekali, setiap hari cuaca sangat panas dan gersang. Daun-daun Mbuyu yang indah berguguran. Ia memandang langit dan menangis dan serta menjerit, “Mungu dengarlah jeritanku! Tubuhku kepanasan, aku tak ingin hidup di tanah karena angin dingin tak mau bersahabat untukku. Oh.. Mungu kalau begini terus menerus aku bia mati!”
“Aku harus berbuat apa?”, kiranya Dewa Mungu pun mendengar.
“Pindahkan saja aku ke tempat yang lebih tinggi, sehingga angin dingin pasti bertiup kencang!”
Terpaksa hati Mungu jatuh iba juga. Kemudian ia memanggil angin besar untuk mencabut Mbuyu serta membawanya ke tempat yang agak tinggi dan menanamnya di sana. Tetapi di tempat ini pun akhirnya tubuh Mbuyu kedinginan dan gemetaran didera angin dingin. Nah, sekali lagi Mbuyu mengadu kepada Dewa Mungu.
“Oh, Dewa Mungu dengarlah lagi jeritan nasibku! Aku tak dapat hidup di tempat di mana sinar matahari hanya sedikit sekali serta angin kencang yang membuat daun-daunku berjatuhan satu per satu. Oh, aku bisa mati Dewa Mungu!”
Sekali lagi Dewa Mungu merasa kasihan kepada Mbuyu.
“Apa yang dapat kulakukan untukmu, Mbuyu?”
“Dewaku yang agung, pindakan saja aku ke tempat yang dulu. Aku kira tempat yang pantas dan panas lebih nyaman daripada di tempat yang dingin. Ah, aku bisa mati di sini Dewaku!”
“Baiklah...” Hati Dewa Mungu pun runtuh juga. Kemudian diperintahkan angin besar untuk memindahkan Mbuyu ke tempat asalnya tetapi dengan menanamnya terbalik, akarnya berada di atas.
“Apa yang kau lakukan terhadapku, Dewa Mungu?” teriak Mbuyu tatkala dirasakan daun-daunnya tertimbun tanah.
“Sengaja aku menanammu terbalik dengan mulutmu tertimbun tanah karena aku tak mau lagi dengar tuntutanmu! Yah, kaulah pohon yang paling cerewet di dunia ini!”
Sejak saat itu Mbuyu, si Baabab tumbuh terbalik. Begitulah hukuman bagi yang tak pernah merasakan puas.