Pada
jaman dahulu kala, hiduplah seorang lelaki di Kota New Delhi. Ia hidup seorang
diri, pembantunya tak ada. Untuk mencari nafkahnya ia bekerja sebagai tukang
sepatu. Sepatu buatannya sangat kuat dan indah.
Persediaan berasnya hampir habis, karena
belakangan ini pelanggannya tidak pernah membeli sepatu buatannya. Tukang
sepatu itu merasa sedih. Ia tak mempunyai uang lagi untuk membeli beras dan
kulit yang baru. Ia jatuh sakit karena kurang makan.
Tukang sepatu mempunyai sehelai kulit
yang indah sekali, yang ia beli beberapa tahun yang lalu. Karena indahnya kulit
itu tidak ia jadikan sepatu. Tapi sekarang ia berpikir lain. Karena merasa
putus asa, ia bermaksud membuat sepatu yang indah dengan kulit itu.
Bibirnya bergumam sendiri, “Aku akan
membuat sepatu yang istimewa. Barangkali saja ada orang yang mau membeli dengan
harga yang cukup mahal. Aku akan dapat membeli makanan dan bahan kulit lain.”
Dengan tekun dan hati-hati ia mulai
bekerja. Lama-lama selesailah sepatu itu. Bagus sekali. Ia selanjutnya letakkan
sepatu itu dalam etalase tokonya. Dengan sabar ia menunggu datangnya pembeli.
Tetapi tak seorang pun mau membeli sepatu itu. Orang-orang merasa terlalu
mahal.
Tukang sepatu itu merasa bingung. Suatu
malam penuh duka, ia duduk sendiri di kursi rumahnya. Ia tak punya uang lagi
untuk membeli makanan dan kopi. Ia mengeluh, “Ah, darimana aku dapat makan
besok? Ya, Tuhan begitu besar cobaan-Mu kepadaku yang hina ini...”
Di luar hujan turun dengan derasnya.
Angin dingin menghembus. Tiba-tiba pintu rumahnya diketuk orang. Ia berdiri
membukanya. Yah, seorang pengemis miskin berdiri di muka pintu. Pengemis itu
berkata perlahan, “Berilah aku sedikit uang. Aku kedinginan dan lemas sekali.
Sehari ini aku belum makan...”
“Aku tak ada uang dan makanan, tapi
masuklah dan keringkan bajumu dekat perapian. Malam ini kau dapat tidur di
sini”, ujar tukang sepatu itu dengan ibanya.
Masuklah pengemis itu ke dalam dan duduk
dekat api. Ia tak bersepatu. Telapak kakinya koyak-koyak dan belah-belah karena
gigitan batu-batu tajam.
“Mengapa kau tak punya uang, Pak Tua?”
tanya pengemis. Tukang sepatu itu menjawab, “Aku sudah tua sekali. Langganan-langganaku
tak mau membeli sepatu lagi. Sepatu-sepatuku tahan lama...”
Pengemis itu mengambil sepasang sepatu
istimewa dan berkata, “Sepatu ini bagus sekali, mengapa tak kau jual?”
“Tak seorang pun membelinya. Mereka
merasa terlalu mahal.” Jawab tukang sepatu itu dengan wajah penuh kesedihan.
“Aku ingin sepatu seperti ini, kakiku
pecah-pecah dan berdarah. Tetapi ah... aku tak ada uang sama sekali”, ujar
pengemis.
“Ambillah sepatu itu, tak seorang pun
mau membelinya. Ambilllah jika kau menyukainya”.
Sambil berkata begitu tukang sepatu itu
pergi meninggalkan pengemis sendiri dan pergi tidur. Pagi-pagi sekali ia
bangun. Pengemis itu sudah pergi, sepatu merah dibawanya juga.
Tukang sepatu itu memasak air untuk
minum. Tak ada makanan sama sekali. Duduklah ia tenang-tenang menunggu apa yang
mungkin terjadi pada dirinya.
Kira-kira jam satu siang pintu rumahnya
diketuk orang. Ia buka pintu sambil ia terheran-heran. Di depan pintu berdiri
seorang Menteri Kerajaan dengan pakaian kebesarannya. Di belakangnya berdiri
seorang pelayan membawa makanan yang lezat-lezat. Menteri itu berkata dengan
senyumnya tersungging di bibirnya.
“Saya membawa makanan untuk Anda!”
“Makanan ini untuk saya?” kata tukang
sepatu itu dengan rasa keheranan. “Mungkin ini suatu kekeliruan?”
“Bukan kekeliruan, makanlah dahulu nanti
saya ceritakan”, kata Perdana Menteri Kerajaan itu. Maka tukang sepatu itu pun
makan dengan lahapnya. Selesai makan Perdana Menteri itu berkata, “Tadi malam
Anda telah memberi Baginda sepatu merah dan kini beliau akan membayarnya kembali.”
“Tetapi, saya berikan sepatu merah itu
kepada seorang pengemis. Siapa Tuan Anda?”, tanya tukang sepatu itu dengan
penuh keheranan.
“Tuanku adalah Maharaja KerajaanWirata.
Desa ini masuk wilayahnya. Untuk lebih mengenal kehidupan rakyatnya dari dekat,
beliau menyamar sebagai seorang pengemis. Anda tentu mengira beliau seorang
pengemis sungguhan. Anda berikan kepada beliau satu-satunya kekayaan Anda.
Mulai hari ini Anda diminta tinggal di Istana Wirata. Nah, cukup penjelasan
saya mari kita berangkat sekarang!”
Kini tukang sepatu itu hidup berbahagia
di Istana raja. Tetapi ia tidak sombong dan congkak.
“Hati
yang tulus dan ikhlas akan membuahkan kebahagiaan”
9 Juli 2015 pukul 20.15
Yg ini happy ending
27 Juli 2018 pukul 01.09
rekomendasi situs aym bangkok terpercaya
9 Agustus 2018 pukul 02.19
Sabung ayam terbaik se indonesia
judi sabung ayam
7 Januari 2019 pukul 00.50
Klik dulu baru bisa rasakan ayam bangkok