Dahulu di pedalaman India, hiduplah seorang brahmana. Dia orang yang baik hati dan menyayangi seluruh binatang seperti saudaranya sendiri. Dia berpergian dari satu tempat ke tempat yang lainnya untuk menyebarkan ajaran Hindu. Sebagai seorang brahmana dia sama sekali tidak mementingkan kekayaan duniawi. Dia lebih sering menghabiskan hidupnya di daerah-daerah pertapaan.
Suatu hari ketika dia sedang berjalan di sepanjang kampung, dia bertemu dengan seekor harimau yang terjebak dalam sebuah kandang besi yang kuat. Ternyata orang-orang kampung telah menangkap dan mengurung harimau itu karena keganasannya memangsa ternak-ternak mereka.
“Oh, hai saudaraku Brahmana”, kata si harimau, “Tolong lepaskan aku, aku ingin minum! Aku sangat haus, sedangkan disini tidak ada air”.
“Tapi saudaraku harimau, kau tahu jika aku melepaskanmu, kau pasti akan menerkam dan memakanku hidup-hidup”.
“Tidak, aku tidak pernah berbuat begitu. Aku tidak akan melakukan perbuatan yang nista itu. Lepaskan aku, saudaraku Brahmana. Aku akan pergi mencari minum”, kata harimau berbohong.
Karena iba melihat penderitaan harimau dan mendengar janji harimau yang tidak akan memangsanya, Brahmana itu kemudian membuka kunci kandang besi itu dan melepaskan sang harimau. Begitu harimau terlepas, tanpa diduga-duga haimau itu menerkam sang Brahmana dan siap-siap melahapnya hidup-hidup.
“Nanti dulu saudaraku harimau, kau telah janji tidak akan memangsaku. Ini tidak adil ataukah itu hanya akal bulusmu saja agar aku membebaskanmu”, kata Brahmana.
“Tindakanku ini benar dan adil, aku akan memangsamu hidup-hidup”, kata harimau.
“Baiklah saudaraku harimau, aku akan merelakan tubuhku kau santap dengan satu syarat”.
“Syarat apa itu?”, kata harimau yang sudah tidak sabar menikmati makan siangnya.
“Begini, kita akan bertanya kepada lima penghuni hutan pertama yang kita temui untuk meminta pendapat mereka tentang apakah adil seekor harimau memangsa brahmana setelah aku membebaskanmu dari kandang besi. Jika mereka menjawab itu adil, maka aku tidak keberatan menjadi santapanmu”.
Harimau berpikir sebentar. Menurutnya, para penghuni hutan pastilah setuju kalau sudah menjadi takdir alam bahwa harimau akan memangsa manusia. Dengan keyakinannya itu, sang harimau pun menyetujui syarat-syarat yang diajukan Brahmana dan melepaskan terkamannya dari tubuh brahmana. Kemudian mereka berjalan menyusuri hutan untuk mencari lima penghuni hutan yang akan mereka mintai pendapat.
Mereka menanyai Pohon Bayan, Banteng, Elang, dan Buaya dengan pertanyaan yang diajukan brahmana. Ternyata keempat hewan itu setuju bila harimau memangsa Brahmana. Mereka sangat benci kepada manusia yang sombong dan tidak berperikemanusiaan kepada para hewan.
“Manusia adalah orang yang tidak tahu terima kasih. Ketika aku masih muda dan kuat majikanku mempekerjakan aku dengan keras. Aku membantunya membajak sawah. Tapi,  sekarang begitu aku sudah tua dan tidak kuat lagi membantu mereka, dengan seenaknya dia membiarkan aku mati di pinggir jalan ini. Biarlah harimau memangsa Brahmana”, kata Banteng dengan suara yang berat.
Begitu mendengar penuturan keempat hewan tersebut, harimau itu dengan cepat menerkam dan siap memakan Brahmana. Brahmana yang malang itu pun segera mengingatkan harimau bahwa ada satu penghuni hutan yang harus mereka tanyai.
Setelah beberapa waktu, di tengah hutan akhirnya mereka berpapasan denagan seekor Kancil yang sedang berjalan dengan riangnya ke arah mereka.
“Oh saudaraku Kancil, berikan pendapatmu kepada kami! Apakah adil atau benar jika harimau ini memangsaku setelah aku menyelamatkannya dari kandang besi?”, kata Brahmana dengan keputusasaannya.
“Maaf aku tidak dengar?”, kata Kancil.
Brahmana tersebut mengulang pertanyaanya sambil menaikkan suaranya.
“Kandang besi?” tanya Kancil seraya ingin memperoleh kejelasan.
“Ya, ya dari kandang besi, Kami ingin tahu bagaimana pendapatmu”, kata Brahmana.
“Oh, kalian meminta pendapatku?” kata Kancil. “Maukah kau berbicara sedikit lebih keras lagi agar aku bisa memahami persoalan yang kalian hadapi dengan lebih jelas lagi? Mohon maaf, aku memang agak lambat memahami segalanya. Sekarang coba kau ulangi lagi!”
Brahmana tersebut dengan sabar mengulang pertanyaannya lagi.
“Kandang apa?” tanya Kancil.
“Kandang besi, dimana Harimau ini dikurung, kau mengerti?”, kata Sang Brahmana.
“Aku tidak sepenuhya mengerti. Aku tidak akan mengerti ceritamu kalau kau menceritakan sepanjang itu. Begini saja teman-teman, jika kalian ingin menyelesaikan masalah ini lebih baik kalian tunjukkan padaku dimana kandang besi itu berada. Dengan begitu, aku akan segera mengerti duduk perkaranya. Ayo tunjukkan kandangnya padaku.”
Demikianlah Brahmana dan Harimau berjalan balik menuju tempat kandang besi itu berada, sementara Kancil mengikuti keduanya dengan bersiul riang.
Tidak lama kemudian, mereka sudah sampai di tempat kandang besi itu.
“Sekarang mari kita pelajari dari awal”, kata Kancil. “Brahmana di mana kau berada saat itu?”
“Aku berdiri di sisi jalan ini,” kata Brahmana.
“Dan kau Harimau, dimana kau berada saat itu?” Kata Kancil kepada Harimau.
“Kenapa, ya tentu saja aku di dalam kandang,” geram Harimau.
“Oh, maaf tuan Harimau, aku begitu bodoh sehingga tidak mengerti apa yang sesungguhnya terjadi. Jika tidak keberatan, aku ingin tahu lebih jelas lagi. Bagimana keadaanmu pada waktu kau berada dalam kandang? Apa yang sedang kau lakukan?”, tanya Kancil.
“Aku berdiri di sini”, kata harimau sambil melompat ke dalam kandang. “Aku sedang memikirkan nasibku begini”.
“Oh begitu, terima kasih, terima kasih. Nah, sekarang semuanya mulai jelas bagiku. Tapi masih ada yang tidak aku mengerti. Maafkan kebodohanku tuan harimau, kenapa kau tidak keluar sendiri?” tanya Kancil.
“Kancil bodoh, tidakkah kau tahu bahwa pintu kandang ini mengunciku di dalam?”, kata Harimau bertambah geram.
“Oh maafkan aku. Aku tahu aku sangat lambat berpikir. Aku tidak akan mengerti segalanya dengan baik kecuali aku melihat kejadian sebenarnya. Tuan Brahmana, tolong kau tunjukkan bagaimana posisi pintunya?”
“Pintu itu tertutup seperti ini dan terkunci”, kata Brahmana sambil mengunci pintu kandang besi itu. Klik!
“Oh jadi seperti itu?” kata Kancil.
“Sekarang kau sudah mengerti semuanya Kancil bodoh. Bagaimana pendapatmu, apakah aku adil dan benar jika aku memangsa sang Brahmana. Cepat! Aku sudah tidak sabar lagi”, kata sang Harimau.
“Ini pendapatku, Saudaraku Brahmana. Sekarang pintu kandang itu sudah terkunci rapat, aku sarankan agar kau tetap menguncinya seperti itu! Sedangkan kau temanku,” kata Kancil itu sambil memandang Harimau dari luar kandang, “Aku rasa kau harus menunggu dengan sabar sampai kau mendapatkan orang yang mau melepaskanmu!”
Setelah berkata begitu, sang Kancil membungkuk dihadapan sang Brahmana         
“Saudaraku Brahmana,” katanya. “Begitulah caraku menyelesaikan masalah ini. Selamat tinggal!”
“Terima kasih saudaraku kancil” kata sang Brahmana.

Sang Kancil segera lari masuk ke dalam hutan, sementara Brahmana meneruskan perjalanannya yang sempat terganggu. Bagaimana dengan sang Harimau? Dia akan tetap berada di kandang besinya untuk merenungi nasibnya yang malang.