Nagueb Enhaun berpaling dengan perasaan sedih, sementara air matanya tak terbendung lagi meleleh di pipi. Hatinya tersayat-sayat. Ah, sebuah perpisahan harus dialaminya.
           “Selamat tinggal Kota El Kharga yang kucinta. Selamat tinggal tanah kelahiran ... aku harus meninggalkan segera.”
            Sebelum meneruskan perjalanannya, Nagueb masih sempat berdoa. Tangannya gemetar keduanya menadah ke langit.
            “Ya Allah, terimalah arwah ayahku di sisi-Mu. Dia telah mengorbankan segalanya. Segala yang berharga dan jadi miliknya, sehingga di saat-saat terakhir dia telah mengorbankan nyawanya sendiri. Ampunilah dosa-dosanya dan lapangkan jalannya ke akhirat, Tuhan ...”
            Kemudian dinaikinya unta kesayangannya. Hari ini juga, harus ditinggalkannya Kota El Kharga. Tidak ada uang di sakunya, tidak ada milik berharga pada dirinya. Semalam telah terjadi malapetaka itu, peristiwa sedih telah mengakhiri segala-galanya.
            Ayahnya, adalah pegawai rendah pada Jawatan Purbakala, sejak masa mudanya. Belum lama ini, sehabis pulang dari sebuah ekspedisi kepurbakalaan dari suatu gurun pasir 555 mil di sebuah Kota El Kharga, ayahnya membawa pulang sejumlah besar barang-barang kuno dari emas murni. Ayahnya, Umar Latif dipercayai untuk menyimpan barang-barang seharga jutaan dolar itu, sebelum nanti diserahkan kepada Dinas Purbakala Pusat di Kairo secara resmi dan komplit.
            Tapi semalam, terjadilah peristiwa yang menyedihkan itu. Sekawan perampok menyerbu rumahnya. Umar Latif dan beberapa orang pegawai Dinas Purbakala diserang secara membabi buta. Terjadi perkelahian sengit. Melihat keadaan yang gawat itu, Nagueb dipanggil ayahnya.
            “Perampok-perampok ini mau merampas area-area emas milik negara itu anakku! Pergilah engkau menyingkir, bawalah unta kesayangan kita. Masukkan barang-barang emas itu ke dalam karung kumal, tutupi dengan jerami. Pergilah ke Kota Nag Hammadi, serahkan barang-barang itu pada Tuan Jihad Hisyam. Ayo cepat! Ayah akan melawan perampok-perampok biadab itu!”
            Nagueb akhirnya berhasil lolos lewat pintu belakang. Perkelahian makin seru, setelah ayahnya ikut terjun ke gelanggang. Para tetangga berdatangan menolong.
            Nagueb menyembunyikan diri di rumah seorang kawannya, bersama unta kesayangannya serta area-area purbakala itu. Dia menanti hari pagi untuk berangkat ke Kota Nag Hammadi di sebelah timur laut dari kotanya.
            Dan keesokan harinya Nagueb mendengar berita ayahnya terbunuh. Dan lebih sedih lagi rumahnya dibakar oleh perampok yang penasaran karena area-area purbakala itu tidak mereka temukan. Para perampok itu akhirnya bisa diusir oleh penduduk, tapi korban-korban telah keburu berjatuhan.
            Nagueb tidak mengatakan pada siapapun, bahwa di di dalam karung kumal itu tersimpan barang-barang emas. Dia curiga, jangan-jangan orang akan datang merampasnya. Maka pagi-pagi sekali sebelum ayam berkokok dia pergi secara diam-diam.
            Mau naik kereta api dia tak punya uang. Mau menjual untanya, dia merasa terharu dan tak sampai hati. Dan dengan perasaan berat ditawarkannya binatang itu pada beberapa orang kaya, tapi sejauh itu tak ada orang yang mau membelinya.
            “Baiklah aku akan menempuh perjalanan jauh ini dengan unta saja.” Nagueb sudah bulat tekadnya untuk mencapai Kota Nag Hammadi dengan menaiki unta, melewati pasir sejauh 222 Km itu.
            Karena ketabahan dan tekadnya yang membaja maka Nagueb sampailah di Kota Nag Hammadi pada hari ke lima. Tapi sayang kali ini Nagueb sial! Ternyata Tuan Jihad Hisyam telah dipindahkan ke Kota Kairo, dan belum ada penggantinya.
            Nagueb tak putus asa, dijualnya unta itu walau dengan perasaan sedih. Selanjutnya uang itu disimpan di sakunya. Sementara Nagueb menjadi penumpang gelap kereta api jurusan Kairo. Nagueb sembunyi-sembunyi di gerbong barang, di antara bagasi-bagasi yang berpeti-peti. Tetapi uang Nagueb tetap dihemat juga.
            Pemerintah Mesir Tak menyia-nyiakan perjuangan warga negaranya. Setelah menerima kehadiran Nagueb anak sebatangkara yang telah berkorban sepenuh jiwa raganya mempertahankan dan menyimpan harta milik negara itu, Nagueb disuruh menetap di Kairo. Selanjutnya Nagueb di sekolahkan ke Perancis untuk mendalami bidang kepurbakalaan.
Sekembalinya dari Perancis, Nagueb Enhaun diangkat sebagai ahli Purbakala di Kota Kairo.